Archive for August 2012
Kalau Anda menjadi pimpinan dengan beberapa anak
buah, mungkin saja Anda dihadapkan pada pilihan seperti ini. Anda mempunyai
anak buah yang hebat. Pekerjaannya bagus, targetnya tak pernah luput. Namun,
sayangnya orang ini cenderung bekerja seenak hatinya. Orang ini cenderung
bekerja sendiri, tak mudah bekerja dalam tim. Sementara, ada karyawan lain yang
baik hati, lemah lembut, sopan dan tidak sombong. Orang ini disukai oleh rekan
sekerjanya, sehingga kerja tim orang ini bagus. Tetapi, sayangnya target orang
ini sering tidak tercapai.
Pertanyaannya, bila Anda harus
memilih salah satu dari dua model anak buah yang seperti ini untuk menjadi
pimpinan kelompok Anda, mana dari dua model anak buah ini yang harus
dipilih?
Ini adalah teori Jack Welch,
mantan bos General Electric. Saya tidak akan memilih satu orang yang sangat
pandai, yang hanya bisa bekerja sendiri, namun tidak dapat bekerja dalam tim.
Saya lebih baik bekerja dengan orang kualitasnya di bawahnya, namun orang-orang
ini bisa berkerja sama dengan baik, dan membuat organisasi mencapai hasil lebih
tinggi daripada yang dihasilkan oleh satu orang genius dalam organisasi.
Tak bisa disangkal, setiap
orang dalam organisasi harus memenuhi dua tuntutan, yakni karakter yang baik
dan kompetensi yang memadai. Namun, tidak mungkin juga Anda membaginya sama
persis: setengah karakter dan setengah kemampuan. Membagi komposisi persis di
tengah mungkin hanya bisa dilakukan di atas kertas saja. Oleh karena itu
terpaksa seringkali kita harus memilih mana lebih kuat dari keduanya. Ada lebih
banyak pimpinan yang akhirnya memutuskan untuk memilih karakter harus lebih
kuat daripada kompetensi. Karakter tak mudah diubah, sementara kompetensi bisa
diasah, bisa disekolahkan.
Memelihara orang yang tidak
bisa bekerja sama dalam organisasi, apalagi ketika dia sangat sadar akan
"kehebatan" otaknya sendiri, lalu cenderung bekerja sesuai keinginan
dan irama hatinya, berpotensi merusak organisasi. Pimpinan bisa jadi akan lebih
banyak menghabiskan waktu untuk menyelesaikan persoalan ketersinggungan dengan
klien, ketidakharmonisan hubungan dengan kawan sekerja, keributan
antarkaryawan, yang ujung-ujungnya tetap saja menempatkan pimpinan pada posisi
yang harus memilih. Kemajuan organisasi nyaris mustahil hanya ditentukan oleh
pencapaian seorang saja. Sebagian besar pekerjaan menuntut kerja tim yang
baik.
Oleh karena pentingnya tim,
maka proses menjadi variabel penting yang juga harus dipertimbangkan. Pimpinan
tidak mungkin hanya melihat bottom line dan hasil saja tanpa pernah melihat
prosesnya. Jika pimpinan hanya mencatat hasil sebagai pencapaian utama, mungkin
saja organisasi akan mendapatkan benefit dalam jangka pendek, akan tetapi dalam
jangka panjang bisa kehilangan api semangat karyawan. Api semangat karyawan
akan lebih mudah dinyalakan dan dimotivasi ketika tim berada dalam sebuah
semangat dan harapan yang sama.
Memperhatikan proses memang
pekerjaan yang menyebalkan. Ada model pimpinan yang karena tidak suka mengikuti
proses, sering menekan anak buah dengan kata-kata: "Saya tidak mau tahu,
pokoknya kamu harus bisa menyelesaikan persoalan ini!" Anak buah yang
kreatif dan cerdas akan memakai segala cara untuk menghadapi pimpinan dengan
gaya seperti ini. Bila perlu sistem dan prosedur disesuaikan dengan keinginan
pimpinan tertinggi. Kalau pun aturan main dilanggar, tak masalah yang penting
pada akhirnya persoalan terselesaikan. Paling sedikit ada laporan yang
menunjukkan keberhasilan ketika membuat presentasi ke pimpinan.
Tetapi, potensi dampak
kerugian intangible seringkali tak terungkap pada saat anak buah yang hebat ini
membuat presentasi laporan hasil karyanya. Oleh karena itu, selain menuntut
hasil, proses juga harus tetap menjadi bagian penting bagi semua orang dalam
organisasi.
Sumber : Fortune Indonesia 13
Mei 2012 Halaman 40